Pernah dengar ada seorang mahasiswa yang sedikitpun tidak merasakan cinta terhadap kampus tempat dia menuntut ilmu? Sangat jarang sekali kan. Walau bagaimana pun membosankannya suasana kampus, dia akan tetap merindukan kampusnya itu.
Demikian juga yang terjadi terhadap saya. Saya seorang mahasiswa FKIP UNLAM Jurusan PBS (Pendidikan Bahasa dan Seni) Program Studi PBSID. Saya sangat mencintai FKIP Unlam. Bagaimana pun lelahnya saya menjalani kehidupan sehari-hari, saya akan tetap merindukan kampus tercinta itu.
Sayang, ada beberapa beberapa fasilitas yang seharusnya dapat dinikmati semua civitas akademik tanpa terkecuali, seperti WC umum, ruang kuliah, aula, multimedia bahkan bangku taman untuk sekedar nongkrong bareng teman-teman sebelum kuliah tak bisa dinikmati dengan sempurna.
Untuk ruang kuliah, bangku taman, multimedia hampir tidak ada masalah selain jadwal yang kebetulan bentrok. Yang membuat saya sangat keberatan adalah hak untuk memakai WC dan aula.
Jujur saja, di FKIP ini apabila ada WC yang bersih dan wangi sedikit saja akan langsung dikunci, dan yang bisa menggunakannya juga hanya para dosen. Lalu bagaimana nasib kami para mahasiswa yang juga ingin membuang hajat kami tanpa terganggu bau WC yang sangat tidak enak dan keadaannya yang kotor. Kenapa kami hanya disodori dan diperbolehkan memakai WC yang tidak layak, bahkan kadang airnya pun habis. Apakah FKIP terlalu duafa untuk memberikan fasilitas yang adil kepada mahasiswa?
Ah, rasanya kok tidak. Kita tahu FKIP lagi gencar membuka kelas jalur khusus dan penyetaraan, yang tentunya itu semua juga sumber duit yang besar. Ironisnya hal itu tak diimbangi dengan ketersediaan lahan parkir yang luas, dan WC yang airnya siaga 24 jam dan wangi bunga.
Belum lagi izin menggunakan aula saat ada HIMA (Himpunan Mahasiswa) yang ingin mengadakan kegiatan, sangat sangat sulit didapatkan. Yah memang terkadang bisa, tapi itupun kami harus menunggu dengan perasaan yang H2C (harap-harap cemas), dapat izin apa tidak. Bagaimana kegiatan mahasiswa tidak mati, kalau hanya sekedar ingin bernapas lega saja susah di kampus sendiri. Lebih baik HIMA ditiadakan saja sekalian di kampus ini.
HIMA ada tentu maksudnya agar mahasiswa tak hanya kuliah saja, dan itu adalah bidang kerja dari adanya Pembantu Dekan III yang memang bertanggungjawab menjaga perkembangan aktivitas ekstra kuliah mahasiswa di FKIP Unlam. Kalau mahasiswa enggan mengadakan kegiatan ekstra karena terkendala persoalan mencari ruang aktivitas bersama yang layak, lalu buat ada HIMA? Bubarkan saja, dan itu artinya tak perlu lagi ada PD III dan itu pun berarti bisa menghemat duit, jika memang kesejahteraan yang ingin dipilih kampus ini dengan cara menghemat duit dan mengorbankan kesejahteraan mahasiswanya.
Lalu apa gunanya ruangan itu dinamakan aula, kalau penggunaannya sama saja dengan ruangan kuliah yang lain. Apa gunanya tiap tahun, dari tahun 2005 sampai sekarang, jalur mandiri dibuka dengan pungutan biaya yang tidak sedikit dan dikatakan bahwa uangnya digunakan untuk membangun gedung kuliah baru kalau toh kami para mahasiswa tetap merasakan kesulitan mencari ruangan untuk kuliah, ruangan untuk mengadakan kegiatan.
Mana buktinya kalau uang-uang itu digunakan untuk membangun gedung, untuk kesejahteraan kami kuliah. Jangan sekedar bicara, tapi berilah kami rasa sejahtera itu. Kami tidak perlu janji, tapi bukti. Kami tidak akan protes kalau apa yang kami dapatkan di kampus sesuai dengan yang dijanji-janjikan.
Sekali lagi saya katakan, bahwa saya cinta FKIP, saya cinta kampus ini. Tapi dengan adanya hal-hal seperti yang saya terangkan di atas, rasanya kecintaan saya terhadap kampus ini ada yang mengganjalnya. Saya tidak bermaksud menjatuhkan almamater saya sendiri, saya berani menuliskan semua perasaan saya ini malah dengan harapan kampus dapat memperbaiki citra diri dihadapan seluruh civitas akademiknya, terutama kami para mahasiswa yang belajar di dalamnya.
Saya terpaksa membicarakan segala kejelekan muka sendiri ini di koran karena saluran komunikasi di FKIP sekarang mampet seperti keran-keran WC yang ada di sini. Di FKIP orang berbicara bukan dengan bahasa kasih sayang, tapi dengan kekuasaan dan senioritas.
Jauh di dalam hati saya, saya yakin bukan cuma saya satu-satunya mahasiswa yang merasakan nasib seperti ini. Yang saat ingin membuang hajat tapi harus rela berlari jauh ke mesjid kampus karena WC di kampus kotor dan airnya kering. Yang ingin mengadakan kegiatan tapi semua ruangan dikatakan penuh dan tidak bisa digunakan sehingga terpaksa menggunakan balai yang ada di tengah kampus dengan konsekuensi acara tidak akan berjalan optimal.
Tapi sayang seribu kali sayang, teman-teman saya yang lain itu mungkin takut untuk mengungkapkan uneg-unegnya, takut mengalami pencekalan dari orang dalam mungkin. Yah, meskipun saya sendiri sejujurnya juga merasa takut, tapi saya lebih takut mendengar rengekan dan cemoohan dari hati saya sendiri yang mengatai saya adalah seorang pengecut dan tidak berguna apabila tidak segera mengungkapkan hal ini.
Kasihan teman-teman saya, mereka cuma bisa menahan sakit hati tanpa berani bersuara dan senyum-senyum saja menerima nasib buruk karena hak-hak mereka yang dikebiri. Ingin sekali rasanya saya mengajak mereka untuk menumpahkan segala kekesalan mereka akan hak-hak atas fasilitas kampus yang dihalang-halangi. Ingin rasanya mengajak mereka bersama-sama menyuarakan apa yang selama ini terpendam di dalam hati, apa yang selama ini diinginkan dan diharapkan dari kampus tercinta ini. Tapi kepada siapa ?
(Ne artikel yang aku, niatnya seh biar bisa di muat di koran, tapi gak tau neh kira2 masuk pa ga,,doain yak teman2,,,)